Selasa, 01 November 2011

Latar Belakang Berdirinya KAMMI

KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia . Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. KAMMI lahir pada ahad tanggal 29 Maret 1998 PK.13.00 wib atau bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang.
KAMMI lahir didasari sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap krisis nasional tahun 1998 yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan terutama pada sektor kepemimpinan telah membangkitkan kepekaan para pimpinan aktivis dakwah kampus di seluruh Indonesia yang saat itu berkumpul di UMM - Malang.

 Pemilihan Nama

Pemilihan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang kemudian disingkat KAMMI yang berarti kesatuan mengandung makna atau memiliki konsekwensi pada beberapa hal yaitu :
  1. KAMMI adalah sebuah kekuatan terorganisir yang menghimpun berbagai elemen Mahasiswa Muslim baik perorangan maupun lembaga yang sepakat bekerja dalam format proyek gerakan bersama KAMMI.
  2. KAMMI adalah sebuah gerakan yang berorientasi kepada aksi real dan sistematis yang dilandasi gagasan konsepsional yang berdasar AL-Qur'an dan Sunnah mengenai reformasi dan pembentukan masyarakat dan Negara Islami (berperadaban).
  3. Kekuatan inti KAMMI adalah kalangan mahasiswa pada berbagai stratanya yang memiliki komitmen perjuangan keislaman dan kebangsaan yang jelas dan benar berdasar instruksi dari pimpinan pusat PKS.
  4. Visi gerakan KAMMI dilandasi pemahaman akan realitas bangsa Indonesia dengan berbagai kemajemukannya, sehingga KAMMI akan bekerja untuk kebaikan dan kemajuan bersama rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia.
Status, Identitas Dan Peran
KAMMI adalah organisasi ekstra kampus yang menghimpun mahasiswa muslim seluruh Indonesia secara lintas sektoral, suku, ras dan golongan. KAMMI menghimpun segenap mahasiswa muslim Indonesia yang bersedia bekerjasama membangun negara dan bangsa Indonesia. KAMMI berperan sebagai wadah dan mitra bagi mahasiswa Indonesia yang ingin menegakkan keadilan dan kebenaran dalam wadah negara hukum Indonesia melalui tahapan pembangunan nasional yang sehat dan bertanggung jawab.
KAMMI mengambil peran sebagai mitra bagi masyarakat dalam upaya-upaya pembangunan masyarakat sipil, demokratisasi dan pembangunan kesatuan/persaudaraan ummat dan bangsa melalui pendampingan/advokasi sosial, kritisi/konstruktif terhadap kebijakan negara yang memarginalisasi masyarakat.
Perjalanan Kepengurusan
Kepengurusan pertama adalah periode al-akh Fahri Hamzah, yakni sejak Deklarasi sampai Muktamar I di Bekasi pada bulan November 1998. Periode ini memfokuskan aktivitasnya kepada aktualisasi jaringan nasional untuk mengambil peran historis secara heroik dalam proses reformasi di Indonesia, yakni dengan menggiatkan aksi secara simultan, merata, kontinyu, dan menegaskan komitmen reformasi yang jelas. Periode ini adalah masa launching ke hadapan publik dan positioning awal KAMMI sebagai elemen gerakan mahasiswa yang diharap selalu mengambil peran terdepan dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Periode kedua adalah masa al-akh Fitra Arsil, yang terpilih untuk menggantikan akh Fahri dalam Muktamar I dan menjalankan amanah sampai Muktamar II di Yogyakarta pada bulan November 2000. Periode ini memiliki tugas untuk secara serius menata infrastruktur organisasi KAMMI yang establish dan merancang sistem kaderisasi KAMMI yang lebih terstruktur. Juga melakukan berbagai aksi sosial dan kemanusiaan untuk ikut mengatasi beban rakyat yang ditimbulkan oleh krisis berkepanjangan.
Periode ketiga adalah masa al-akh Andi Rahmat yang terpilih dalam Muktamar II KAMMI di Yogyakarta dan direncanakan menjabat sampai tahun 2002. Periode ini menekankan pentingnya positioning strategis KAMMI di tengah pluralitas gerakan yang ingin mewarnai proses transisi di Indonesia. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, akh Andi Rahmat menyatakan mundur dari jabatannya pada bulan Maret 2001.

tugas 1 semester 3

    Dalam retorika politik Indonesia dewasa ini masih sering terdengar keinginan atau harapan akan adanya pemimpin panutan. Seseorang dianggap menjadi panutan apabila dia memiliki kebajikan-kebajikan yang patut dicontoh oleh orang lain, yang melihat dalam diri sang panutan suatu model tentang perilaku yang baik dan benar. Dalam istilah antropolog Clifford Geertz dia diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan.
Jarang kita menyadari bahwa memperlakukan seseorang sebagai panutan adalah mengasumsikan bahwa orang tersebut mempunyai kualifikasi moral di atas rata-rata, yang melampaui kemampuan moral orang kebanyakan. Dengan pengandaian semacam itu muncul ketidak-adilan yang secara tidak disadari diperlakukan pada diri sang panutan. Ini artinya, kalau sang panutan bertingkahlaku baik dan benar, maka hal itu diterima sebagai kenyataan yang serba biasa, sesuatu yang semata-mata given, seakan-akan keteladanan moralnya bukanlah hasil perjuangan pribadinya dalam mencapai nilai-nilai yang lebih luhur. Sebaliknya, kalau dia melakukan suatu kesalahan (dan mungkin kesalahan yang kecil saja) maka segera saja dia dianggap mengecewakan harapan banyak orang, menimbulkan frustrasi dan amarah pada para pengikutnya, yang menganggap dia tidak memenuhi suatu standar yang telah mereka terapkan pada dirinya. Dia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa yang kadangkala tak berhasil mengatasi kelemahannya sendiri.
Paham tentang pemimpin panutan sangat mungkin berasal dari masa aristokrasi, tatkala hubungan patron-klien merupakan pola utama yang mengatur hubungan sosial. Gampangnya, mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi juga model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan. Ungkapan bahasa Prancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang percaya bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup.
Paham ini diubah secara radikal dalam sistem demokrasi yang bertolak dari ide utama tentang persamaan setiap orang. Aspek persamaan yang sering ditekankan dalam diskusi politik adalah persamaan di depan hukum, yaitu ketetapan bahwa tiap orang yang melakukan kesalahan yang sama ketika berada dalam kondisi yang sama, harus dihukum dengan hukuman yang sama, sekali pun mereka berasal dari status sosial yang berbeda.
Namun demikian, secara implisit, demokrasi mengandaikan adanya semacam persamaan dalam moralitas di antara semua orang, tetapi dalam formula negatif. Berarti, demokrasi tidak mengandaikan bahwa semua orang mempunyai kebajikan yang sama, tetapi orang-orang dengan kebajikan yang berbeda-beda itu, dapat jatuh dalam kesalahan yang sama, khususnya kalau mereka mempunyai kekuasaan di tangannya. Asas noblesse oblige diganti oleh prinsip power tends to corrupt, yaitu bahwa kecenderungan kepada penyelewengan dan kejahatan selalu melekat pada tiap kekuasaan. Ini jelas dari kenyataan sederhana bahwa kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri, dan kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar dari kemampuannya mengritik dan mengawasi dirinya. Dalam aristokrasi diandaikan bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa kewajiban dan kebajikan yang lebih tinggi. Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk kesalahan dan penyelewengan yang semakin berat.
Karena itu dalam demokrasi tidak diharapkan bahwa seorang pemimpin politik haruslah seorang panutan (sebagaimana berlaku dalam kehidupan agama misalnya). Mereka yang berada dalam kabinet, DPR, birokrasi pemerintahan, dan bahkan kepala negara dan kepala pemerintahan sendiri --- untuk memakai istilah sosiologi Max Weber --- bukanlah moral virtuosi, yaitu orang-orang yang dikarunia kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya, bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalah-gunakan. Rakyat biasa tidak mengalami kerentanan tersebut, karena mereka tidak memiliki kekuasaan.
Inilah sebabnya, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin yang tanpa cela atau bebas dari segala cacat. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik, baik pengawasan melalui hukum yang berlaku, mau pun kontrol sosial oleh para warga.  Pemimpin yang baik harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap untuk dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia mempunyai moral courage untuk mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut. Jalan ini jauh lebih menguntungkannya secara politik daripada kalau dia berkelit dengan berbagai dalih bahwa dia tak melakukan kesalahan apa pun.
Terhadap godaan penyelewengan kekuasaan, kita tidak mengharapkan bahwa seorang pemimpin akan demikian teguh hatinya dan demikian saleh jiwanya sehingga sanggup mengatasi godaan penyelewengan dengan kekuatannnya sendiri. Demokrasi mengandaikan bahwa seorang pemimpin menjadi baik dan benar karena dia terhindar dari penyelewengan berkat pengawasan, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang yang dipimpinnya.  Di sini pemimpin menjadi baik dan berhasil bukan karena keunggulan pribadinya, tetapi karena dia dikekang dari praktek penyelewengan oleh pengawasan rakyatnya, meski pun dia sendiri ingin dan sangat tergoda untuk menyelewengkannya. Dalam demokrasi, seorang pemimpin yang tidak menyelewengkan kekuasaan karena takut pada pengawasan, adalah pemimpin yang baik, dan dia tidak usaha menjual tampang bahwa dia tidak tertarik untuk menyalahgunakan kekuasaannya.
Kalau demokrasi sebagai sistem politik mengandaikan bahwa pemerintahan harus berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat demi kepentingan rakyat, maka pemimpin yang demokratis adalah seseorang yang berasal dari rakyat (dan bukan dari kalangan bangsawan), diawasi oleh rakyat (dan bukan mengawasi dirinya sendiri), dan bekerja untuk rakyatnya (dan bukan untuk dirinya atau kelompok yang kebetulan dekat dengan dirinya).

5. tugas tulisan soft skill tentang organisasi

Berikut ini tiga model struktur organisasi yang di kenal yaitu:
a.    Model Tradisional
b.    Model hubungan manusiawi
c.    Model sumber daya manusia

4. tugas tulisan soft skill tentang organisasi

Orang-orang yang terlibat di dalam organisasi.
Memang bisa di katakanbahwa manajer adalah karyawan, tetapi mereka mempunyai pengaruh-pengaruh khusus pada struktur organisasi, sehingga perlu di bicarakan secara terpisah yaitu:


•    Manajer dan struktur, yaitu struktur organisasi di pengaruhi secara langsung oleh preferensi pribadi manajer terhadap berbagai tipe organisasi tertentu.
•    Karyawan dan struktur.

3. tugas tulisan soft skill tentang organisasi

Teknologi yang digunakan
Menurut woodward ada sejumlah hubungan antara proses teknologi dan struktur organisasi yang dapat di uraikan sebagai barikut:
1.    Semakin komplek teknologi, semakin besar jumlah manajer dan tingkatan manajemen.
2.    Rentang kendali manajemen para manajer lini pertaman meningkat dari produksi massa ke proses.
3.    Semakin tinggi kompeksitas teknologi perusahaan semakin besar jumlah staf administrative dan klerikal.

2. tugas tulisan soft skill tentang organisasi

Lingungan yang melingkupnya
Dalam pembahasan mengenai pengaruh lingkungan pada desain organisasi secara terperinci perlu membedakan 3 tipe lingkungan sebagai berikut:
1.    Lingkungan stabil
2.    Lingkungan berubah (changing environment)
3.    Lingkungan bergejolak (turbulent environment)

1. tugas tulisan soft skill tentang organisasi

a.    Strategi dan Struktur
Hubungan erat antara strategi dan struktur organisasional pertama kali dijelaskan oleh Chandler. Chandler menyimpulkan perubahan-perubahan strategi mengakibatkan perubahan-perubahan desain organisasional. Dia menyatakan bahwa “struktur mengikuti strategi”.Hubungan antara strategi, struktur dan lingkungan dapat dipandang dari 2 perspektif utama.Pada pandangan pertama, organisasi adalah reaktif terhadap lingkugannya  : proses perumusan strategi harus memperhatikan lingkungan dimana organisasi beroprasi pada saat sekarang dan akan beroprasi di waktu yang akan datang. Dalam pandangan kedua, organisasi adalah proaktif karena proses perumusan strategi mencakup pemilihan lingkungan dimana organisasi akan beroprasi dalam jangka waktu yang lebih panjang.Chandler mengatakan bahwa struktur mengikuti strategi, dan strategi ini pada gilirannya akan mempengaruhi struktur organisasi yaitu:
•    Strategi menentukan kegiatan-kegiatan organisasional yang merupakan basis pokok bagi desain organisasi.
•    Strategi mempengaruhi pemilihan teknologi dan orang-orang yang tepat untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.
•    Strategi menentukan lingkungan spesifik di mana organisasi akan beroperasi.